Siang itu, ada janji makan siang dengan seorang pria yang sudah diatur oleh sahabatku. Michael namanya. Ia adalah seorang pemuda di gerejaku.
Aku panik, aku gugup. Sudah dua tahun ini aku tidak pernah merasakan berkencan atau dekat dengan pria manapun. Dua tahun lalu, pernikahanku gagal karena suamiku berperingai buruk. Aku sempat mengalami KDRT dan aku putuskan untuk keluar dari pernikahanku yang mengerikan. Namun, kemudian aku takut. Aku benar-benar takut bahwa aku akan hidup sendiri sepanjang usiaku. Sampai akhirnya seorang teman berkata untuk menuliskan semua keinginanku, semua kriteria suami yang kuharapkan dan kubawa di dalam doa setiap hari.
Namun, aku tetap berdoa dengan setulusnya, dan menaruh seluruh harapanku hanya di dalam doa, hanya kepada Tuhan...
***
"Hai, aku Michael," katanya. Ia berpenampilan rapi, murah senyum dan sangat sopan. Aku saja terkejut dengan keramahan dan kesopanannya itu.
Setelah pertemuan pertama yang singkat, kami jadi rajin berhubungan lewat telepon. Kami membahas apa saja yang ada di sekitar kami. Hal-hal ringan atau sebatas berita di hari ini.
Lantas tiba di suatu kesempatan ketika aku akhirnya berkata padanya, "aku belum siap untuk menjalin hubungan"
"Oh ok, kalau begitu kita berteman saja," jawabnya enteng.
Dan semuanya tak ada yang berubah, ia tetap ramah, menyenangkan dan selalu rajin meneleponku seperti biasa.
Kudengar ia punya karier yang cemerlang dalam hal counseling. Ia bukan pria yang doyan minum atau perokok, ia orang yang sopan, gemar membaca, gemar bercerita, dan sangat menyenangkan. Satu hal yang pasti, dari penampilannya memang kentara bahwa ia jauh lebih muda dariku. Saat ini aku belum tahu pasti berapa usianya saat ini. Aku hanya sering menebak-nebaknya saja.
***
Sekali lagi, Michael mengajakku untuk bertemu dan makan siang. Kali ini suasananya memang lebih nyaman, aku sendiri bisa lebih tenang.
Kami membahas hal-hal yang biasa, dan tidak pernah ada kecanggungan di sana seperti yang selalu kubayangkan.
Michael menyelesaikan pembayaran, dan meninggalkan tip sepantasnya di sana lantas menggandengku masuk ke dalam mobilnya.
"Oya, minggu depan ada undangan reuni untukku. Apakah kamu mau menemaniku?" tanya Michael.
Aku terdiam. Aku tidak menjawabnya. Kalau ini adalah reuni kuliah, berarti berapa usianya ya? 32? atau 35? Tetapi kalau ia baru saja lulus, berarti reuni yang paling masuk akal didatanginya adalah reuni SMA, berarti berapa usianya? 28? Aargghhh.... angka-angka itu membebaniku, membuatku merasa bersalah. Bayangkan saja, perbedaan usiaku sekitar 11 tahun dengannya apabila memang ia berusia 28 tahun. Bayangkan, aku seperti babysitternya kalau aku jadian dengannya.
"Kalau kamu bersedia menemaniku, telepon aku ya," katanya singkat kemudian mengantarkanku pulang ke rumah.
Sejak hari itu aku berusaha menghindarinya. Menghindari semua SMS, chatting atau teleponnya dan ajakan-ajakan keluarnya.
***
Michael sempat menelepon beberapa kali dan aku tetap tak menggubrisnya. Sampai setelah dua minggu lamanya, akhirnya aku menerima teleponnya.
"Hai Stef, aku ada dua
tiket nonton film Shrek. Kita ketemuan di bioskop ya. Aku tunggu. Ok ya, aku harus balik kerja." Michael tak memberiku kesempatan menjawab, sepertinya ia tahu bahwa aku sedang menghindarinya.
Dalam hati aku takut tetapi aku juga ingin bertemu dengannya. Jujur saja, aku merindukannya.
***
"Bagaimana acara reuni kuliahmu kapan hari?" tanyaku.
"Oh, aku nggak jadi datang kok. Oh iya, itu reuni SMA bukan reuni kuliah," jawabnya lagi.
Seketika seperti ada petir yang menyambar diriku. Nah kan, benar. Ia 11 tahun lebih muda dariku. Lebih pantas jadi adikku. Usianya 28 tahun, dan aku nyaris 40 tahun. Aku terdiam lama. Membiarkannya lama bercerita tentang film yang baru saja kami tonton. Aku dengar, ia juga ingin mengajakku nonton film kartun lainnya. Ia adalah pecinta film kartun, dan aku merasa sedang seperti baby sitternya.
"Kenapa?" tanyanya menyadariku keheningan itu.
"Michael... (aku mengambil nafas dalam-dalam) tahukah kau berapa usiaku?"
"Tidak. Aku tak tahu"
"Sebentar lagi usiaku 40 tahun. Dan kamu sendiri, berapa usiamu?"
"28." Jawabnya santai. "Kenapa sih Stef?"
"Aku rasa, kita perlu saling tahu usia masing-masing sebelum semuanya terlambat," kataku.
"Hmmm... ok. (Michael terdiam sejenak) Tapi kita masih bakal datang ke acara pesta kembang api besok kan? Aku jemput jam 5 sore yah," katanya lagi.
Aku terdiam. Lega sekaligus deg-degan, sekaligus... ahh entahlah. Pikiranku beragam dan semuanya bercampur menjadi satu.
***
Tepat jam 5, Michael datang. Kami berdiam di dalam mobil dan akhirnya ia membuka suara.
"Aku tahu kau terlalu memikirkan soal perbedaan usia kita. (ia meraih tanganku lembut) tetapi, ada hal yang kamu harus tahu Stef. Selama ini aku berdoa, berdoa dengan sungguh-sungguh agar bisa mendapatkan istri yang sangat pengertian, yang mau menerimaku apa adanya, yang mau selalu mendukung dan menyayangiku. Dan aku melihat semua hal itu di dalam dirimu. Kamu telaten mendengarkanku bercerita, dan menyenangkan," jelasnya.
Aku tersenyum. Mengangguk dan tak berkata apa-apa. Hanya menikmati genggaman tangannya yang lembut, dan kami berjalan menikmati pesta kembang api dengan bahagia.
Michael, usianya mungkin berbeda 11 tahun dariku, tetapi pikirannya begitu dewasa. Bahkan jauh lebih dewasa dariku.
Kami menikah pada akhirnya, diberkahi anak berusia 5 tahun yang lucu. Dan ia benar-benar mencurahkan kasih sayangnya pada keluarga kecil kami dengan sepenuh hati. Tidak terlihat perbedaan usia itu di dalam rumah tangga kami. Tidak ada ketakutan yang selalu kubayangkan selama ini.
Tuhan telah menjawab doaku. Telah menjawab kekhawatiranku. Dan aku tahu, bahwa semuanya memang harus kuserahkan pada Tuhan saat aku tak mampu membawa semua beban itu sendiri.